Senin, 11 September 2017


Menari Bersamamu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Islami, Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Mengharukan
 
Kematian itu bisa datang dengan berbagai rupa, ada yang begitu menakutkan, ada yang indah bagai surga yang dirindukan, dan pada akhirnya kematian membawa setiap insan ke alam baka, menari di pangkuan sang ilahi. Tanganku kuangkat untuk membelai dadaku sendiri entah apa, ada segelintir ketakutan yang kucemasi akhir-akhir ini. ketakutan ketika engkau tersedu, tidak lagi menemaniku menari, tidak lagi melihatku melantunkan gerakan indah laksana kupu-kupu.
Aku masih diam di sini, kanker yang sudah lima tahun menemaniku kurasa memenangkan pertarungannya, semenjak kemo terapi aku menggunakan hijab, sungguh indah bukan? Tuhan memberi hidayah dengan memberiku seorang kawan, sel kanker. Tidak ada yang patut kusalahkan karena aku selalu tahu, ketika usahaku untuk sembuh sudah tidak nampak lagi, itu berarti Tuhan memang menakdirkan aku untuk dipanggilnya, Tuhan selalu tahu bagaimana caranya mencintaiku, dan kerudung merah ini, tak pernah kulepas karena seseorang telah menjagaku, terimakasih Tuhan karena cintamu, dan cintanya selalu merengkuhku.
Kali ini sudah habis dayaku dengan sahabatku yang satu ini, telah lelah aku untuk berlari dari kematian yang pada akhirnya kematian itu pasti akan datang juga. Rumah sakit ini bahkan seperti menjadi rumah keduaku untuk memprsiapkan diri bertemu dengannya sang tunggal. Sang esa. Dan kamu yang kupanggil sang suami, semoga hatimu tabah dan semoga cinta yang telah kita ukir tidak akan berubah, sekalipun Tuhan akan mempertemukanmu dengan jodoh yang lain suatu hari.
Sekarang embun perih itu benar benar keluar dari mataku yang sudah lama menahannya, tiba-tiba saja waktu membawaku ke dalam sebuah momentum indah, dimana kamu pertama kali berhasil mencuri hatiku, dan kamu tahu aku sangat menyukai kamu yang mencuri hatiku. Tiap kali kamu memperhatikanku ketika berlatih menari kontemporer di studio, bukankah itu sebuah alasan awal yang indah mengapa aku mencintaimu sebegitu dalam, lalu ketidak sengajaan mempertemukan kita lagi di suatu sore yang diselimuti hujan deras, kamu tahu betul aku tidak bisa pulang sementara itu adalah waktuku untuk istirahat, kau dengan gagah berani menawariku tumpangan.
Kenapa kisah itu berbalik indah, rupanya ada alasan dibalik ketidak sengajaan, ada campur tangan semesta yang kutahu Tuhan sudah merencanakannya, agar aku bersyukur, agar kamu bahagia. Kita semakin dekat bagai dua kubu yang tampak menjadi satu, dan kamu sehangat selimut di musim hujan, sekaligus meneduhkan di musim kemarau. Air mataku makin menderas seperti kejujuran harus keluar dengan amat indah sekaligus menyiksa, aku takut kematian tetapi aku juga lelah berlari darinya, aku ingin mengalir membiarkan belaian kasih cinta Tuhan menemani tidurku, menemani bangunku.
Pernikahan kita akhirnya terlaksana begitu indah, seperti semesta menjadi milik kita seorang, disaksikan bintang yang iri atas cinta kita, disaksikan Tuhan yang maha cinta. Apalah arti pernikahan tanpa adanya rintangan yang bertamu, mengusik di sisi kritisnya. Masa lalu adalah salah satu penyebab mengapa konflik itu pernah terjadi, sampai kita berikrar untuk saling memaafkan. Kurengkuh engkau setiap hari, kau kecup keningku siang dan malam, segalanya indah ketika ada kamu. Karena surga dunia dapat menjadi neraka ketika kamu tidak ada, dan kini yang aku tahu tangan Tuhan sudah menengadah, memintaku untuk menggenggamnya. Apalah dayaku sebagai manusia yang lemah, dan hanya dapat berdoa.
Sekarang waktu itu tertutup, yang kulihat bukan lagi momentum lampau, melainkan pemandangan indah kota malang dari atas jendela rumah sakit. Tuhan terimakasih telah menjagaku sejak dalam rahim Ibu.

“Zia… bukannya seharusnya kamu istirahat?” kudengar suaramu yang tiba-tiba menghilangkan ketakutanku untuk menemui kematian. “Eh mas Irfan… emmm saya hanya merenung saja mas.” Ungkapku jujur, untuk apa menyembunyikan penyakit yang pada akhirnya hanya menyiksamu karena akan kehilanganku, untuk apa menyembunyikan ketakutan kalau aku butuh pelukanmu, karena dengan mengetahu ketakutanku kamu selalu tahu bagaimana merengkuhku dengan benar, dengan cinta yang kadarnya tepat, sehingga yang gelap menjadi terang.
“pokoknya saya akan berusaha untuk kesembuhan kamu, bagaimanapun caranya. Kamu makin cantik memakai hijab ini” kau memujiku dengan alunan kata yang tiada dua indahnya, kehilangan rambut sebagai mahkota berharga seorang perempuan adalah suatu kengerian yang luar biasa kukhawatirkan, tetapi kamu bersedia hadir mencintaiku, dengan segenap tangismu, segenap lukamu, segenap cintamu. “Tapi aku botak mas… kemo terapi sudah merenggut rambutku, mahkotaku” lidahku tidak tahan untuk mengucapkan itu, karena demi tuhan aku takut engkau tidak mencintaiku lagi.
“aku bukan mencintai kecantikanmu. Aku mencintai kamu Zia… sejak pertama kali bertemu, kamu sudah merampas hatiku, kamu yang mencuri hatiku, bukan kecantikan kamu, apa lagi rambut kamu… kenapa harus memuja kecantikan bila pada akhirnya usia merenggutnya dengan perlahan sekaligus kejam.” jelasmu, bibirku entah mengapa bergetar ingin kucurahkan sebuah permintaan penghabisan, kamu seharusnya tahu sejak lama bahwa pengobatan ini hanya menjadikanku makin tak sempurna di depanmu, karena pada akhirnya kangker ini akan menjadi perantara untuk merenggut nyawaku.

“Mas Irfan… terimakasih kamu sudah mencintaiku dengan tepat, terimakasih sudah bersedia menjadi imam yang baik untukku… kamu tahu dulu aku seorang penari kontemporer, dan aku sangat ingin menari bersamamu, seperti yang kita lakukan di depan gedung rektorat waktu masa kuliah dulu…” Dengan nada lemah aku mencoba tertawa, teringat ketika kita baru menjalin sepasang kekasih, engkau meminta ajari aku untuk menari dansa, aku menantangmu yang pemalu menari di lapangan depan gedung rektorat, kamu benar-benar mempercayaiku, matamu menatapku sayu waktu itu, lalu kita menari bersama. Oh momentum itu terulang kembali, dan kali ini aku ingin kembali ke sana, andai engkau mampu mewujudkannya.
“tapi kamu harus istirahat sayang…” kau menolak permintaanku dengan amat lembut, seandainya engkau tahu kalau waktu kuhabiskan untuk istirahat, maka momentum satu itu hanya kan menjadi hantu di masa lalu. “Mas Irfan… kumohon… aku baik-baik saja, aku tidak ingin lari lagi dari sang kematian. Aku capek… mas… aku tidak ingin menghabiskan hidupku untuk berobat, menghindari takdir… kankerku sudah stadium akhir mas, dan sudah hampir lima tahun kita berusaha.” Air mataku pecah mengucapkan ungkapan jujur ini. “aku mohon Zia jangan bicara seperti itu” kau bungkam bibirku dengan satu telunjukmu lembut, lalu aku kau dekatkan kepalamu ke arahku, hingga kurasakan bibir dingin itu mengecup keningku. Kupejamkan mata, menyisakan air mata yang masih mengaliri pipi, dadaku sesak harus mengakui kesahihan ini. “mengapa Tuhan begitu kejam, mencoba merenggutmu dariku…” Aku tidak pernah menyangka, kaliamt itu kau lontarkan. Betapa aku marah engkau persaahkan Tuhan.
“mas jangan ngomong begitu… Tuhan mencintaiku mas, Tuhan mencintai kita” tanganku terangkat untuk segera membelai pipimu. “Dia terlalu mencintai kita sehingga dia memanggilku, ini adalah ujian yang harus kita lewati, jangan pernah keluarkan kata-kata itu lagi dari mulutmu mas,” mengapa melanjutkan kalimat ini sangat sulit, lidahku kelu dan rongga dadaku makin sesak. Tangisku tersedu-sedu di depanmu.

“mas… aku mohon… wujudkan permintaanku yang terakhir ini, aku ingin berdansa bersamamu… aku ingin berdansa di kampus kita.” Sungguh rapuhnya aku, bahkan bibirku serasa berat untuk menyampaikan permintaan yang satu ini. kali ini kamu tidak menjawab apa-apa, hanya kuamati matamu makin sembab oleh air mata yang terus menerus keluar, sekonyong-konyong kamu memelukku, inilah peluk yang kuminta. Aku tahu kini telah dimengerti, kau sadar peluk ini tak berkata namun engkau memahami apa yang kumaksud sedari tadi.
“sore yang indah mas…” Pujiku memandang kampus ini, Universitas Brawijaya. Kusunggingkan senyumu, ya kami seperti akan mendatangi acara pernikahan, Mas Irfan mengenakan batiknya sementara aku mengenakan gaun kuning dengan hijab putih. “Maafkan aku kalau permintaanku ini memberatkanmu” tuturku lembut, kubelai pipinya lalu kukecup keningnya dengan segenap cinta yang selalu saja diperbaharui.
“seharusnya kamu berobat, istirahat. Bukannya malah di lapangan rektorat seperti ini” untuk kesekian kalinya, kau mencoba menghentikannya. Segalanya terlanjur terjadi dan bukanlah sebuah kebetulan. “Aku memintamu untuk membayangkan ada musik indah yang mengalun, mengiringi gerak tari kita” tanganku yang tadi membelai pipinya turun dan kulilitkan tanganku di lehermu, sesekali kucoba untuk menyeka air matamu. Beberapa pasang mata melihat kami dengan aneh, mengangap kami gila hendak menari di sini.

“lakukan mas… demi aku… kumohon” kuseka air matanya yang masih deras sekali lagi, tanpa kuminta musik itu seperti muncul dengan lembut, mengiringi setiap gerak kami. Terimakasih Tuhan, aku sungguh bahagia, rongga dadaku tidak lagi menyesak kesakitan, rasanya seperti berjalan di atas langit, kau menggenggam tanganku erat ketika aku melakukan gerakan berputar, sedikit kutemukan senyum di pipimu. Bukankah indah menikmati hidup ini semaksimal mungkin, tidak menghabiskannya untuk berlari dari takdir ilahi, aku tahu menari bersamamu membawa kita kepada berbagai gambaran indah masa lalu.
Air mataku keluar bahagia, kesakitan yang merong-rong sekujur tubuhku tidak lagi kurasakan adanya, maafkan aku yang akan meninggalkanmu dalam sepimu, maafkan aku bila aku menyakiti perasaanmu. Mungkin itu ada alasan terbaik mengapa konsep berpisah dan bersua selalu ada, karena kita dapat memaknai hidup ini dengan bersyukur. Matahari telah menunggu dan sambutlah pagi itu dengan senyummu yang selalu mencuri hatiku itu, jangan biarkan duka menenggelamkanmu dalam kejahiliaan.
Di gerakan terakhir aku ingin memelukmu seerat yang kumampu, kita sama-sama menangis, tetapi setidaknya kita masih memiliki kisah indah untuk mengucapkan selamat tinggal. “Terimakasih mas Irfan… kamu sudah membahagiakan aku dengan segenap cinta yang kamu miliki, terimakasih kamu sudah menjadi cahaya pengharapnku. Aku bahagia bersamamu mas. Maafkan aku kalau aku harus mendahuluimu.”
Dalam gerak kita yang melambat sepertinya sekujur tubuhku tak kuasa lagi melawan sang kanker, saatnya aku untuk menerima tangan Ilahi mengiringku ke dalam syafaat cintanya. Kepalaku puisng dan dadaku menyesak, lidahku tak mampu lagi untuk berkata-kata. Engkau perlahan memudar, dan aku membiarkan diriku jatuh di dekapanmu, cintamu. Air matamu sudah terlalu banyak kau urai, tetapi bersyukurlah karena perpisahan kita terlalu indah. Menari bersamamu adalah Ucapan Selamat Tinggalku padamu, jagalah aku dalam hatimu, sekalipun kau menemukan cinta yang lain di suatu hari, simpanlah aku di tempat paling indah dalam jiwamu.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar